![]() |
Sesi diskusi. Dok: FLP Bandung |
Kegemarannya pada bacaan—terutama fiksi—bermula ketika ia masih SMP, saat ia membaca novel "Sukreni Gadis Bali" karya Pandji Tisna di perpustakaan sekolah. Pandji Tisna adalah pengarang roman Balai Pustaka.
Atik tertarik pada buku tersebut karena saat itu banyak tayangan televisi yang diadaptasi dari novel roman Balai Pustaka. "Cerita dalam novel itu membuat saya merasa mendapatkan teman. Saya tidak lagi merasa sendirian," katanya.
Masa SMP memang masa yang memilukan bagi Atik. Ia termasuk anak broken home yang tengah berada dalam masa memberontak, dan ia merasa mendapatkan panutan dari tokoh-tokoh fiksi yang dibacanya. Lantip—tokoh dalam novel "Para Priyayi" karya Umar Kayam—adalah salah satunya.
"Lantip hidupnya sengsara, tapi dia jalanin hidup dengan hati ringan. Dia punya alasan untuk marah, untuk memberontak, tapi malah memilih mengayomi. Semenjak itu, saya ingin menjalani hidup seperti Lantip," ujarnya.
Untuk itulah, Atik berkata, ia bisa bertahan hidup karena membaca fiksi.
Ia menyayangkan masih banyak orang yang menganggap remeh buku fiksi. Padahal, menurutnya, cerita-cerita fiksi bisa menumbuhkan empati, dan membuat mental pembacanya kuat.
"Membaca fiksi membuat pembacanya kerap menghapi berbagai situasi pelik dalam cerita. Pembaca bisa ikut merasa galau, marah, bingung, terharu, dsb. Pengalaman itu yang membuat mental pembaca menjadi terasah," ujar Atik.
Memperkaya kosa kata
Manfaat lain yang Atik rasakan dari membaca buku adalah kekayaan kosakata. Selepas kuliah, ia pernah bekerja sebagai penulis skenario televisi.
Saat bekerja di sebuah stasiun TV, ide cerita merupakan hasil diskusi antara produser dan tim kreatif dan Atik, yang nimbrung dalam diskusi tersebut, harus mengolahnya jadi naskah skenario utuh. Tapi ia tidak merasa kesulitan karena kosakata dan wawasan yang ia punya.
Kekayaan kosa kata juga membuatnya punya berbagai cara untuk menunjukkan isi pikiran. Baik saat menulis maupun berbicara. Kosakata membuat caranya berekspresi semakin kaya.
![]() |
Foto bersama pasca diskusi. Dok: FLP Bandung |
Membuat kriya karena membaca
Dua tahun terakhir, Atik menjual berbagai kriya dari kain seperti booksleves, pembatas buku, dan pouch. Kriya yang kebanyakan dibuat berdasarkan permintaan itu sudah berjalan cukup lama, dan mendapatkan pelanggan dari berbagai kalangan.
Novel lagi-lagi yang menjadi inspirasinya membuat kriya. Meskipun tak punya sedikit pun pengalaman dengan menjahit, Atik nekat membeli mesin jahit, dan berlatih sepenuhnya secara otodidak. Akibatnya, jemarinya terluka cukup sering, namun hasil usahanya terbayar dengan bisnisnya yang kini mulai berjalan. Tahun lalu, sebuah penerbit bahkan menjadikan kriya buatan Atik sebagai asesoris resmi.
Atik berpesan pada setiap orang membaca buku apa saja. "Tak ada buku/bacaaan yang sia-sia. Suatu saat pasti berguna," katanya.**
(Diolah dari program Kamisan FLP Bandung, 15 September 2022)
Kontributor: Barli
0 Comments
Post a Comment