Utami Dewi, Ketua Divisi Kaderisasi dan Karya Forum Lingkar Pena (FLP) Bandung periode 2024-2026 memberikan mentoring kepada anggota dan non anggota FLP Bandung mengenai “Cara Membuat Dialog Cerita yang Natural” pada Ahad, 11 Mei 2025 di Selasar Masjid Salman ITB, Bandung.
![]() |
Sesi diskusi. Dok: FLP Bandung |
Sebagai pembuka sesi mentoring, Utami menjelaskan hasil temuannya mengenai adanya dialog-dialog yang kurang natural dalam cerita. Temuan itu antara lain berupa banyaknya dialog yang kaku, dilebih-lebihkan, tidak menggambarkan karakter dan konflik, serta tidak memiliki makna dan tujuan yang menggambarkan ide cerita.
Untuk menghindari hal-hal tersebut, Utami memberikan beberapa tip sebagai berikut:
- Kenali karakter dalam cerita
Jika karakter kita dalam cerita adalah seorang profesor, gunakan bahasa yang biasanya digunakan oleh profesor. Jika karakter dalam cerita kita adalah pedagang, gunakan bahasa yang biasanya digunakan oleh pedagang. Hal tersebut akan menjadikan cerita kita lebih logis.
- Gunakan bahasa sesuai dengan latar tempat dan waktu Dalam konteks ini, Utami lebih mengarahkan kepada aksen yang biasanya menjadi ciri khas suku tertentu. Misalnya, dalam ranah Betawi, kata Iye akan digunakan dalam latar tempat suku Betawi, dan tambahan mah akan sering digunakan dalam latar tempat budaya Sunda. Selain itu, penulis cerita juga perlu memerhatikan latar waktu cerita. Jika waktu dalam cerita terjadi sekitar tahun 1970 an, pastikan bahasa yang kita gunakan juga dipakai pada tahun tersebut. Jangan sampai kita menggunakan kata atau istilah kekinian, tapi belum ada di tahun 1970 an.
- Gunakan dialog sesingkat mungkin atau seperlunya
Dialog yang dibuat harus sesingkat mungkin atau seperlunya saja -tidak perlu dilebih-lebihkan. Di sisi lain, jika dialog harus panjang, maka kita perlu memastikan bahwa informasi yang disisipkan dalam dialog bersifat penting dan ada korelasi dengan cerita. Contohnya dalam dialog yang menanyakan kabar. Dialog ini kerap bertele-tele.
“Kamu apa kabar?”
“Kabarku baik. Bagaimana kabarmu?”
“Kabarku juga baik.”
“Aku senang mendengar kabarmu.” - Show don’t tell Show don’t tell adalah teknik dalam menulis yang digunakan untuk mendeskripsikan informasi melalui aksi, sensori, pikiran dan detail lainnya yang tertulis dalam cerita. Seperti saat kita mengekspresikan marah. Alih-alih menulis “Aku marah!” yang tidak menggambarkan detail cerita, kita dapat menggantinya dengan tulisan: “Oh gitu, jadi kamu sudah tidak sayang denganku lagi?” Katanya dengan nafas yang memburu dan tatapan yang tajam. Dengan begitu, kita memperlihatkan bagaimana emosi marah, bukan sebagai ungkapan “Aku marah!”
Setelah memberikan tip-tip tersebut, Utami menekankan kembali kesalahan-kesalahan yang perlu dihindari dalam menuliskan cerita, seperti:
- Menambahkan dialog yang tidak penting atau memiliki dialog pengulangan, yang sudah dicontohkan pada poin nomor 3 di atas.
- Menyebutkan pengulangan nama berkali-kali, yang sebenarnya dapat dihindari jika nama tersebut sudah disebutkan dengan jelas di awal. Berikut contoh dialog dengan pengulangan nama yang perlu dihindari:
“Laksmi, kamu mau makan apa?”
“Laksmi ingin makan sayur bayam, kak.”
“Akan ku buatkan untukmu, Laksmi.”
- Jangan menyampaikan pesan yang tidak sesuai dengan alur. Seperti kata-kata mutiara yang diletakkan dalam alur cerita yang tidak sesuai. Misalnya kata-kata mutiara yang diletakkan pada alur karakter sedang mengamuk.
- Dialog tidak seimbang atau terlalu formal. Dialog dalam cerita harus bersifat seimbang sehingga pembaca dapat larut dalam cerita dan tidak merasa bosan.
Sesi mentoring tersebut dihiasi dengan diskusi, ditutup dengan praktik membuat dialog pendek dan sesi saling memberikan tanggapan.[]
Kontributor penulis: Ratih
Penyunting: Sukma
0 Comments
Post a Comment