oleh: Nurul Maria Sisilia

Afrika yang Resah karya Okot p’Bitek merupakan kumpulan dari dua sajak panjang berjudul "Nyanyian Lawino" dan "Nyanyian Ocol". Sebelumnya, dua sajak tersebut dicetak terpisah pada tahun yang berbeda. "Nyanyian Lawino" terbit tahun 1966 dan "Nyanyian Ocol" terbit tahun 1970.
“Nyanyian Lawino” yang panjang di kumpulan puisi Afrika Yang Resah mengejek suami Lawino,  Ocol, yang  terang-terangan menganut tata cara dan pola pikir Barat di kalangan suku Acoli.  Lawino memrotes Ocol yang berperilaku seperti “kacang lupa pada kulitnya.”.
Suamiku menumpahkan hinaan
Bagi Orang Hitam.
Tingkahnya bagai
induk ayam
yang makan telurnya sendiri
induk ayam yang harus disekap
di dalam kurungan
(p’Bitek: 3)

Lawino pun seakan mempertanyakan sikap Ocol --yang merupakan anak kepala suku-- meremehkan dan menganggap Afrika (termasuk dirinya sebagai istri Ocol) sebagai raksasa dungu, primitif, dan terbelakang.


Ia bilang Orang Hitam itu
Primitif
Dan cara hidup mereka
sangat membahayakan
Tarian mereka penuh dosa.
Merek a bodoh, miskin,
Dan penyakitan!
(p’Bitek: 4)

Ocol yang lebih memilih Clementine (Tina) sebagai gundiknya yang sudah "terbaratkan" membuat Lawino makin murka.

Aku tak menghalangi suamiku
Mengambil istri baru
Kalau ia suka, biar ia
Membangun sebuah
Rumah
Beratap besi di atas bukit
Untuk istri mudanya!
Rumah yang beraktap ilalang
Sudah cukup
Bagiku
(p’Bitek: 8)

Melalui diksi yang ekspresif dan gaya bahasa yang segar, Lawino “menyanyikan” keprihatinannya akan pengaruh Barat yang modern itu. Pengaruh tersebut Lawino rasakan telah menggerogoti nilai-nilai luhur Afrika yang tradisional. 

Di sisi lain, Ocol, dalam "Nyanyian Ocol", menyuarakan keinginan dan mimpinya atas Afrika yang modern, bebas, dan bermartabat. Menurutnya, Afrika menyimpan potensi besar yang belum digali untuk menjadi maju. Ocol, yang mendapatkan pendidikan Barat, menggunakan pengetahuan dan kepandaiannya untuk menghasut Afrika agar meninggalkan tradisi yang kuno, kolot, dan tidak masuk akal.

Kami akan menghancurkan
Tabu-tabu,
Satu demi satu
Meledakkan landasan
Setiap takahayul
Kami akan mencabut
Setiap pohon keramat
Dan merobohkan setiap
Tempat pemujaan leluhur
(p’Bitek: 119)

Ia menunjukkan bahwa dirinya adalah lelaki Afrika modern dengan pola pikir yang berbeda dengan orang Afrika lainnya, terutama istrinya sendiri Lawino.

Lewat buku ini, pembaca disuguhi keadaan paradoksal yang terjadi di Afrika. Di satu sisi,   dimunculkan keinginan mempertahankan orisinalitas Afrika yang tradisional namun terbelakang. Di sisi lain, timbul keinginan memodernkan Afrika dengan mengorbankan tradisi dan nilai-nilai yang telah ribuan tahun melekat di dalamnya. Maka, membaca buku  karya Okot p'Bitek ini ibarat membaca keresahan Afrika yang rumit dan panjang.




*) disampaikan pada Kamisan FLP Bandung tanggal 27 Maret 2014