KAMISAN tanggal 24-04-2014
Oleh : Abdullah Abus

Tulisan ini bertujuan untuk memperkenalkan aliran sastra realisme yang sepertinya sedang menjamur di negara ini dewasa ini. Tak akan membahas detil karena keterbatasan pengetahuan dan tema.
Aliran sastra realisme diawali oleh sastra Perancis pada pertengahan abad ke-19. Sedangkan maksud dari aliran ini adalah sebuah karya sastra (kebanyakan novel) yang lebih menekankan tentang penggambaran kehidupan normal dan masyarakat kontemporer apa adanya.
Ada yang menyebutkan aliran ini sebagai tindak perlawanan pada aliran sastra romantis, yang dianggap cengeng dan berlebihan. Karya-karya yang dihasilkan oleh para penulis realis begitu apa adanya. Hanya menceritakan sebuah kisah yang diambil dari kisah nyata tanpa berusaha mengindah-indahkan bahasa, layaknya sastra romantis.
Ada beberapa penulis realis yang terkenal, diantaranya George Eliot, William Dean Howells, Honore de Balzac, Fyodor Dostoyevsky, Leo Tolstoy, Anton Chekov dan masih banyak lagi.
Dari Indonesia tersebutlah beberapa nama, yaitu N.H. Dini, Titie Said, A.R. Baswedan, Motinggo Boesye dan masih banyak lagi.
Cirri-ciri yang sangat kentara dari aliran realisme adalah : menggunakan bahasa sehari-hari, selalu ada pesan moral yang jelas, berdasarkan kisah nyata, menceritakan kehidupan sehari-hari, meminimalisir kata-kata/istilah yang tidak sopan dan kesederhanaan lain.
Walaupun begitu, karya tulis fiksi tetaplah fiksi. Tak mungkin keseluruhannya berdasarkan kisah nyata. Bisa dilihat karya-karya biografi yang dinovelkan yang saat ini sedang menjamur tidak sepenuhnya asli. Selalu ada penambahan, misalnya nama seorang teman tokoh tersebut dan unsur-unsur lainnya. Itu dikarenakan otobiografi atau kisah yang akan diceritakan ulang tidak menjelaskan tentang detil-detil yang sekiranya cocok untuk dipakai di dalam karya-karya tersebut.
Jangan pula mengharapkan ada adegan/kejadian imajinatif atau fantasi, karena karya sastra realisme sepertinya alergi dengan itu semua. Bagi mereka, pembaca tak perlu dibawa masuk ke alam imajinasinya, cukup dengan gambaran yang ada.
Intinya, idealisme penulis tidak bisa tersalurkan karena ke-real-an tersebut menuntut penulis untuk memindahkan keseluruhan cerita yang ada ke dalam cerita baru.
Wallahu a’lam.