Ali Akbar Navis, lebih dikenal sebagai A. A. Navis, merupakan sastrawan kenamaan Indonesia. Cerpennya yang fenomenal, “Robohnya Surau Kami” (1955), terpilih sebagai cerpen terbaik majalah Kisah dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, Prancis, dan Jepang. Lahir di Padangpanjang pada 17 November 1924 dan meninggal di Padang pada 23 Maret 2003, ia termasuk satu di antara sedikit sastrawan Indonesia yang setia menggeluti proses kreatifnya dalam dunia sastra. Sebagian besar cerpennya yang ditulis pada rentang 1950-2000-an dan berjumlah 68 buah dibukukan dalam Antologi Lengkap Cerpen A. A. Navis (2004). Karya novelnya yang diterbitkan dalam bentuk cerita bersambung di media massa ataupun dalam bentuk buku, yaitu Pak Kantor (1957), Kemarau (1967), Kembali dari Alam Barzakh (1967), Padang Kota Tercinta (1969), Saraswati, si Gadis dalam Sunyi (1970), Di Sepanjang Pantai Purus (1971), Gerhana (1975), dan Di Lintasan Mendung (1983). Selain karya fiksi, ia juga menulis puisi, esai sosial-budaya, penulisan autobiografi dan biografi, dan sebagainya. Penghargaan yang telah diraihnya antara lain dari UNESCO/Ikapi atas novel Saraswati, si Gadis dalam Sunyi (1968), dari Radio Nederland atas cerpen “Jodoh” pada sayembara menulis Cerpen Kincir Emas (1975), Hadiah Seni 1988 dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Hadiah Sastra 1992 dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, SEA Award dari Kerajaan Muangthai (1992), serta penghargaan khusus dari harian Kompas atas semangat dan kesetiaan berkarya di bidang penulisan cerita pendek (2000).
Di samping mengarang, ia pernah menjadi
pegawai pabrik porselin di Padangpanjang (1944-1947), menjabat Kepala Bagian
Kesenian Jawatan Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat di Bukittinggi (1955-1957),
Ketua Yayasan Ruang Pendidikan INS Kayutanam (sejak 1969), Pemimpin Redaksi
Harian Semangat di Padang
(1971-1972), anggota DPRD Sumatera Barat mewakili Golongan Karya (1971-1982),
serta aktif memberi ceramah dan tampil sebagai pemakalah dalam berbagai forum
diskusi di dalam dan luar negeri.
Proses
Kreatif
Dalam tulisan mengenai proses kreatifnya
(1978), A. A. Navis mengungkapkan bahwa keinginan menjadi pengarang timbul dari
kegemaran membaca sejak di sekolah rendah. Saat itu pula ia membeli buku tulis
dan mulai menulis roman. Namun setelah beberapa halaman, terasa olehnya bahwa
menulis cerita tidaklah semudah membacanya.
Baru pada 1949 ia berkenalan dengan
berbagai majalah kesusasteraan seperti Mimbar
Indonesia dan Gema Suasana yang
diterbitkan dan diredaksi oleh Angkatan ’45, seperti Idrus, Asrul Sani, Chairil
Anwar, dan H. B. Jassin. Mula-mula ia menulis puisi. Namun kemudian ia
menyadari bahwa dirinya tidak bisa menjadi penyair dikarenakan gayanya
senantiasa dipengaruhi oleh orang lain. Ia tidak mau menjadi epigon karena itu
tidak terpuji dalam dunia kesenimanan. Sejak muda ia memang bercita-cita
menjadi seniman. Merasa tidak cocok menjadi musisi, pelukis, maupun pemahat,
maka dipilihnya menulis untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan yang mengendap
dalam dirinya serta hasilnya dapat diketahui dan memproses dalam diri orang
lain juga.
Maka ia beralih pada cerpen. Ia membaca
buku-buku pelajaran sastra dan teknik mengarang, namun tidak memperoleh apa-apa
selain rasa putus asa. Buku-buku semacam itu memang memberi pengetahuan
mengenai cara menjadi pengarang yang baik, namun teori dan persyaratan yang
banyak malah membuatnya kecut. Lama kemudian, setelah menulis banyak cerpen,
barulah ia memahami bahwa teori disusun bilamana sastra sudah lahir. Bentuk
sastra berubah dari waktu ke waktu, maka teori pun berubah sehingga tidak
kekal. Berpegang pada teori menyebabkan orang tidak bisa maju. Menurutnya,
banyak sastrawan muda berbakat yang ingin memperdalam ilmu dan teori
kesusasteraan melalui perguruan tinggi, setelahnya hanya menjadi ahli teori,
tidak lagi kreatif. Namun banyak yang mulai berbuat sebelum tahu teori dan
berhasil menjadi sastrawan ulung, sebut saja Motinggo Busye yang berasal dari
Fakultas Ekonomi, Marga T. dari Fakultas Kedokteran, serta Taufiq Ismail dan
Asrul Sani yang sama-sama dokter hewan.
Dari menulis kritik atas karya orang
lain pula, ia belajar mengasah pisau sendiri, menajamkan pengamatan yang sangat berguna ketika menulis kreasi sendiri. Cerpen-cerpen
pengarang Indonesia dijadikan bahan studi untuk mengetahui kelemahan-kelemahannya.
Adapun cerpen-cerpen asing yang diterjemahkan pada umumnya dari pengarang
terkenal dan merupakan karya terbaiknya, sehingga dijadikan bahan studi untuk
mempelajari kekuatan-kekuatannya. Dalam Pertemuan Sastrawan tahun 1974 di Taman
Ismail Marzuki, Idrus berceramah bahwa hasil karya sastra Indonesia berada di
bawah standar dunia.
Menurut A. A. Navis, kalau ingin menjadi
sastrawan, karya harus dikirim ke majalah berstandar sastra sebagai pengukur
kemampuan diri. Maka pada awal menulis, ia mengirimkan cerpen berulang-ulang ke
majalah berstandar sastra. Selama lima tahun ia ditolak terus. Namun ia tidak
patah semangat. Ia maklum bahwa nilai atau mutu karyanya belum mencapai standar
kesusasteraan. Ia juga meneliti selera redaksi majalah atau juri sayembara yang
hendak dikiriminya naskah.
Karena bukan orang yang senang pada
petualangan, aksi fisik, maupun kehidupan liar, maka sumber cerita
didapatkannya dari lingkungan hidup pribadi yang coraknya biasa-biasa saja,
tentang pikiran dan tingkah laku orang-orang biasa di sekelilingnya,
direnungkannya terus sampai mendapatkan pola, lalu dituliskan. Adakalanya
inspirasi diperolehnya setelah membaca cerpen orang lain, menonton film,
mendengarkan cerita orang lain, maupun dari peristiwa kecil atau gabungan
peristiwa-peristiwa kecil. Semuanya tidak persis sebagaimana yang dialami
ataupun diketahui melainkan melalui pengolahan dan dicampur dengan renungan
atau pemikiran. Selain itu, ia selalu menggunakan model untuk ceritanya,
misalnya dikaitkan dengan orang yang betul-betul ada, sejarah, atau
pemahamannya atas ajaran agama. Permodelan sangat membantu proses atau jalan
penceritaan. Cerita yang hanya dikhayalkan, baik orang maupun peristiwanya,
pada umumnya macet. Kalaupun cerita itu dapat diselesaikan, rasanya tidak hidup
dan kurang enak dibaca.
Setiap naskah yang telah diselesaikannya
senantiasa mengalami setidak-tidaknya empat kali pengulangan. Ia menunggu
beberapa waktu hingga ceritanya terasa seolah-olah bukan karangannya sendiri
saat dibaca lagi. Kadang-kadang setiap pengulangan mengubah cerita itu sendiri.
Naskah yang macet disimpan, lalu diteruskan lagi beberapa tahun kemudian dan
adakalanya memunculkan ide baru.
Produktivitasnya bisa meluap-meluap,
namun ia juga berpikir apakah cerpen yang akan ditulisnya berguna atau
berfaedah bagi orang lain. Dalam batinnya selalu terjadi perang antara keinginan
menjadi sastrawan yang menghasilkan karya-karya yang baik, atau sastrawan yang
produktif dengan karya asal saja. Namun adakalanya hal itu tidak bisa
ditentukannya karena suatu keadaan mengharuskannya untuk menulis bagaimanapun
juga, misalnya ada media yang membutuhkan naskah untuk mendapatkan pembaca,
atau untuk menopang kebutuhan hidup sehari-hari. Maka ia juga menulis
cerpen-cerpen ringan, yang penting tidak murahan.
Sikap
dan pandangan hidup
Sewaktu ia masih bersekolah, gurunya
terus-menerus mengajarkan agar menjadi manusia yang berarti, dengan cara
menghilangkan ketergantungan diri pada orang lain. Karena itulah, setiap cerpen
yang telah ditulis tidak pernah ia tanyakan pada seseorang apakah sudah baik,
sudah betul. Ia juga tidak bertanya bagaimana yang baik dan yang betul itu.
Untuk menjadi seniman, tekad yang pertama adalah membebaskan diri dari pengaruh
orang lain, baik gaya maupun pandangan hidup. Ia juga tidak suka apabila
kreativitas orang lain tergantung padanya. Kalau ada yang bertanya ini-itu,
meminta nasihat dan wejangan padanya, ia lebih suka memaki orang tersebut
supaya sakit hati lalu bangkit menjadi manusia tangguh.
Sungguhpun begitu, ia terbuka pada
kritik, terutama yang disertai dengan alasan atau argumentasi yang mendalam dan
tepat. Jangankan orang lain, ia pun suka mengkritik karyanya sendiri walau
sudah diterbitkan. Maka ketika diterbitkan ulang, karya tersebut telah
diperbaiki kejanggalan atau kesalahannya. Hal ini diakui oleh Ismet Fanany,
yang menyusun antologi lengkap cerpen A. A. Navis. Ia mengumpulkan cerpen untuk
antologi tersebut dari terbitannya yang terbaru, sebab pada setiap cetakan
selalu ada perubahan.
Namun ada yang tidak dapat diubah oleh
adanya kritik, yakni sikap atau pandangan hidup. Memang sikap atau pandangan
hidup bisa berubah-ubah, namun perubahan itu dimunculkan dalam cerita lainnya. Misalnya
dalam cerpen “Datang dan Perginya” (1956), pandangan A. A. Navis cenderung pada
humanisme. Namun setelah pemberontakan PRRI dan menulis Kemarau, ia lebih menghargai islamisme yang ciptaan Allah ketimbang
humanisme yang ciptaan manusia.
Pujian merupakan tantangan baginya agar
menulis yang sama atau lebih baik daripada karya yang sebelumnya. Itu tidak
mudah. Karena itu, ia mengaku tidak dapat menulis banyak. Hal lain yang
menghalanginya menulis adalah kesibukan dalam urusan-urusan lain serta situasi
politik dan kebijakan penerbit yang tidak memungkinkannya untuk mempublikasikan
karya yang mengangkat isu-isu tertentu.[]
Disarikan
dari Proses Kreatif: Mengapa dan
Bagaimana Saya Mengarang (Jilid 2) (Penyunting
Pamusuk Eneste, diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia, 1982,
diterbitkan ulang oleh Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009) dan Antologi Lengkap Cerpen A. A. Navis (Editor Ismet Fanany, Penyunting penyelia
Kenedi Nurhan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, cetakan 1, 2004)
0 Comments
Post a Comment