Sesi diskusi. Dok: FLP Bandung
 Tak ada cerita bagus tanpa konflik yang menarik. 

Saat menikmati sebuah kisah, yang membuat kita betah adalah sederet pertanyaan seperti: Apakah karakter utama bisa bertahan menghadapi rintangan? Apakah sang antagonis yang kelihatan sangat kuat akhirnya bisa terkalahkan? Apakah sepasang kekasih yang terpisah bisa kembali bertemu?

Dan semua itu tak lain merupakan konflik. 

Lantas, bagaimana cara para penulis meramu konflik? Pertanyaan itu coba dikupas oleh Agi Eka, ketua divisi karya FLP Jawa Barat, dalam acara Mentoring Kepenulisan, Ahad (25/09). 

Bertempat di selasar timur Masjid Salman ITB, Agi memaparkan klasifikasi konflik berdasarkan timeline. Menurutnya, ciri khas konflik bisa dilihat dari latar waktu yang dipilih penulis sebagai latar cerita. Agi membagi timeline menjadi tiga, yakni masa lalu, masa kini, dan masa depan. Masing-masing waktu punya tiga jenis konflik khas. 

Di timeline masa lalu, ada tiga jenis konflik yang sering muncul, yakni (1) manusia vs alam, (2) manusia vs dewa, dan (3) manusia vs manusia. 

Agi memberi beberapa contoh karya yang mengangkat konflik manusia vs alam. 

Life of Pi, misalnya. Novel karya Yann Martel tersebut menampilkan konflik antara si karakter utama—yang berhari-hari terombang-ambing di laut lepas—dengan alam. Digambarkan si karakter mencoba bertahan dari minimnya bahan makanan dan minuman di atas perahu, juga mengakali agar ia bisa hidup bersama seekor harimau yang ada bersamanya. 

Novel lainnya yang menggambarkan konflik manusia vs alam adalah Old Man and The Sea karya Ernest Hemingway. Dalam novel tersebut, dikisahkan seorang nelayan tua yang berusaha menjaga tangkapan ikannya dari hiu yang memakan tangkapannya sedikit demi sedikit. 

Berfoto bersama. Dok: FLP Bandung

Di timeline masa kini, lanjut Agi, ada tiga jenis konflik, yakni (1) manusia vs lingkungan, (2) manusia vs diri sendiri, (3) manusia vs konsep ketiadan tuhan. Konflik di timeline ini lebih banyak berkaitan dengan diri sendiri dan orang-orang sekitar. Bahkan konflik ketiga berkaitan dengan kondisi manusia modern yang mulai sering berhadapan dengan pemahaman eksistensi diri dan sesuatu di luar diri yang bisa terkesan jauh dan abstrak, tuhan. 

Sementara di timeline masa depan, konflik khas yang kerap muncul adalah (1) manusia vs teknologi, (2) manusia vs alien, dan (3) manusia vs penulis. 

Konflik nomor tiga adalah sesuatu yang relatif baru ditemukan. Agi mengambil contoh novel Dunia Sophie. Novel karya Jostein Gaarderr tersebut menampilkan tokoh yang mulanya tidak menyadari dirinya sebagai tokoh fiksi, lalu perlahan menyadari eksistensi si penulis yang menciptakannya dan ingin mengambil kebebasannya sendiri. 

Sejumlah peserta menyimak setiap pemaparan narasumber, dan mengajukan beberapa pertanyaan. Setelah berfoto bersama, Mentoring Kepenulisan ditutup ketika adzan dzuhur berkumandang. 

*** 

Kontributor: Barli