Oleh: Nurul Maria Sisilia 

“Di akhirat nanti, kalau ketemu Tuhan, aku akan tanyakan kenapa Dia bikin tubuh perempuan seperti makanan kaleng. Ku bayangkan di bawah pusar atau pantatku ada tulisan: Best Before Mei 2016” (Dwifatma, 2021:9)

Tiga puluh tiga tahun bukan usia yang muda tapi juga tak terlalu tua untuk memiliki anak. Begitu ucap Amara kala itu. Amara protes mengapa ia tercipta menjadi sosok yang punya masa kedaluwarsa tubuh; seorang perempuan. Keresahan Amara dalam novel karya pemenang  sayembara novel DKJ 2012, Andina Dwifatma, ini barangkali juga adalah keresahan perempuan kebanyakan. Di tengah zaman dengan laju yang terlalu cepat seperti saat ini, perempuan-perempuan dipaksa terus menyesuaikan langkah, mengejar banyak ekspektasi yang tak sepadan, dan berjuang seorang diri. Tak ayal, hal tersebut menciptakan dua hal pada diri perempuan. Kesepian dan keterasingan. Setidaknya, dua hal ini yang saya tangkap dari novel terbitan Gramedia Pustaka Utama, Lebih Senyap dari Bisikan.

Novel ini menceritakan kisah Amara yang telah menikah dengan Baron selama hampir delapan tahun. Pada lima tahun pertama pernikahan mereka, Amara kerap menerima pertanyaan tentang kapan punya anak. Namun, tak begitu ia hiraukan. Pada tiga tahun terakhir keingingannya untuk memiliki anak menjadi ekstrem. Singkat cerita, Amara akhirnya hamil dan melahirkan bayi laki-laki bernama Yuki. Rupanya, masalah tidak begitu saja terhenti setelah kelahiran Yuki. Amara justru mesti lebih gigih berjuang setelah Yuki lahir. Ia melalui banyak kegamangan yang tak mmapu terucapkan itu sendirian. Mulai dari kebimbangan menjadi ibu baru, sikap egois Baron, dan konflik lain. 

Kelindan Kesepian

Sepanjang kisahnya, novel ini menyuguhkan keresahan-keresahan Amara, sang tokoh utama,  yang dipaksa redam jadi senyap. Masalah yang datang secara  berangsur-angsur dalam kehidupan pernikahan Amara dan Baron perlahan menumpuk dan kian kusut semrawut. Kesepian yang saya maksud adalah rasa kesendirian tokoh dalam menghadapi konflik batin dalam hidupnya.

Di awal kisah, diceritakan bahwa sudah delapan tahun Amara dan Baron menikah. Selama lima tahun pertama, sudah cukup rasanya mereka menjadi “bintang” di setiap acara keluarga karena selalu dikepung pertanyaan mengapa belum punya anak.  Terutama kepada Amara. Pada tiga tahun terakhir, obsesi  Amara untuk hamil pun jadi cenderung ekstrem. Segala cara dilakukan mulai dari meminum aneka pil dan vitamin hingga membaca ragam mantra. Perjuangan Amara untuk hamil menjadi saat-saat paling sepi dalam hidupnya. Ia merasa begitu sendirian mengejar sesuatu yang tidak pasti. Tuntutan yang begitu besar kepada perempuan seperti tokoh Amara digambarkan dalam novel ini. Hal tersebut berbeda dengan yang diterima Baron. 

Rupanya kesepian itu tak hanya ia rasakan saat berjuang untuk hamil. Pada tahun ketiga, Amara hamil dan akhirnya melahirkan Yuki dengan selamat. Masalah tak selesai saat Yuki lahir. Ternyata terdapat banyak hal yang tak pernah ditulis di buku panduan menjadi orangtua serta dalam panduan program hamil. Semua hal begitu baru bagi Amara. Amara harus banyak meraba langkah-langkah itu dengan penuh keraguan seorang diri di sebuah kota besar. Hal tersebut mengingatkan kita pada kehidupan perempuan sebagai masyarakat urban yang mesti berjuang di tengah kemajuan zaman. Konfliknya dengan Mami membuatnya enggan meminta bantuan sang ibu. Namun demikian, Mami tetap datang untuk membantu Amara mengurus Yuki. Ia bahkan membawa seorang asisten rumah tangga untuk tinggal bersama keluarga Amara. Kehadiran Mami hanya sebentar, sisanya, Amara yang masih harus berjuang memahami peran barunya sebagai ibu. Hal tersebut semakin menegaskan keterpisahan Amara dengan hal yang seharusnya mebuat Amara merasa aman.

Saat Yuki lahir, Baron mengalami kejatuhan besar dalam kariernya hingga harus kehilangan pekerjaan. Semua aset yang mereka punya harus lenyap satu per satu. Pekerjaan Amara sebagai penerjemah lepas pun tak sanggup menyambung hidup mereka yang kini terkatung-katung. Mereka pun harus rela pindah dari kompleks perumahan ke sebuah kontrakan kecil di sudut kota. Namun di tengah keterpurukan itu, Baron justru ikut hilang. Ia lebih banyak keluyuran tak jelas selama beberapa minggu tak tahu arah tujuan. Baron yang kini pengangguran dan ogah-ogahan berusaha itu meninggalkan Amara dan Yuki dalam keputusasaan yang entah bentuknya. Amara yang harus berupaya hidup demi Yuki sementara Baron seperti lebih ingin mati. Semua kegamangan itu pun ia telan sendiri dalam senyap hingga akhirnya ia meledak. Amara tak kuasa menahan badai di dadanya hingga nyaris melakukan hal yang membahayakan nyawanya serta Yuki.

Tubuh yang Asing

Tubuh Amara yang berubah selama hamil, melahirkan, hingga menyusui ternyata memunculkan hilangnya kuasa atas tubuhnya sendiri. Obsesi Amara untuk hamil membuatnya mempertanyakan keresahannya. Apakah keinginnya untuk hamil adalah karena ingin memiliki anak atau semata agar bisa menggenapkan tugas tubuh perempuan yang dirancang untuk melanjutkan hidup? Pertanyaan amara tersebut muncul setelah berkali-kali mendapat komentar dari masyarakat karena ia belum punya anak. Sedikitnya, hal ini menandakan bahwa tubuh perempuan memiliki kemungkinan dikenai kesepakatan publik yang mungkin saja tidak sepenuhnya diinginkan perempuan. 

Setelah melahirkan, tubuh perempuan kembali mendapat represi dari masyarakat. Ungkapan “biar bapak seneng” saat tokoh Amara menjalani penjahitan vagina pascaoperasi menggambarkan adanya kesepakatan di luar tubuh perempuan itu sendiri. Saat menyusui, fokus Amara berubah menjadi mengurus Yuki dan Baron. Ia kembali tak memiliki ruang untuk tubuhnya sendiri. Keterasingannya ditambah dengan tindakan menyalahkan diri sendiri. Pikiran tentang menjadi ibu yang bodoh menghantuinya secara terus menerus. Di akhir cerita, Amara mengasingkan diri dari dunia luar dengan kembali ke rumah Mami. Semua hal dari dunia luar ia dapatkan dari kerabatnya, Si Macan.

Secara keseluruhan, novel berisi 152 halaman ini berhasil merekam peristiwa-peristiwa yang dialami tubuh perempuan secara personal dan baik. Rasa ngilu ketika menahan keinginan untuk mengedan saat pembukaan menuju kelahiran, kesedihan ketika ASI tak keluar dengan lancar, atau saat ASI perah yang sudah banyak terkumpul tumpah karena tersenggol tergambar dengan lugas, Gambaran seperti ini agaknya memang tepat disampaikan oleh penulis perempuan. Tulisan tentang perempuan yang ditulis perempuan, seperti dijelaskan Helene Cixous, akan membawa pengalaman dan ketidaksadaran dalam dirinya (unconsious) sehingga pembaca dapat memahami perempuan yang sebenarnya. 

Novel ini memang tidak menyuguhkan pemberontakan yang ofensif namun pergolakan dalam jiwa Amara tampil sebagai perlawanan dalam bentuk lain. Novel ini pun berhasil memotret kehidupan masyarakat urban dengan cermat. Humor yang disispkan penulis dalam kisahnya membuat novel ini pun segar dan terasa sesuai dengan kondisi terkini.

Akhir kata, Novel ini cocok dibaca untuk mendalami pengalaman personal perempuan secara lebih dekat dan menyeluruh. Kesepian dan keterasingan tokoh Amara yang disajikan Andina dalam novelnya membuat saya menaruh simpati pada kehidupan tokoh utama. Di sisi lain, semakin dibaca, saya semakin ingin menjitak kepala Baron yang hidup segan mati tak mau.

*** 
 Disampaikan pada gelaran Kamisan Forum Lingkar Pena Cabang Bandung pada Kamis, 9 September 2021

Merupakan pembacaan reflektif saya setelah membaca novel karya pemenang novel DKJ 2012, Andina Dwifatma.