Oleh : Abdullah Abus

Roman ini adalah roman kedua yang saya baca dari karya-karya Hamka atau H.A.M.K.A. atau Haji Abdul Malik Karim Amrullah. karya yang pertama saya baca adalah : Di Bawah Lindungan Ka’bah. Mungkin temanya standar sesuai dengan zamannya. Tentang mengkritisi adat istiadat suatu daerah yang sangat ketat sehingga membuat banyak sekali manusia yang terugikan.
Di dalam roman ini, tersebutlah Zainuddin. Seorang campuran Minangkabau-Bugis, karena ayahnya berdarah Minangkabau sementara ibunya berdarah Bugis. Mengapa bisa seperti itu? Diceriterakan bahwa ayah Zainuddin dibuang oleh masyarakat karena membela diri saat akan dibunuh oleh pamannya (sehingga ia membunuh pamannya yang licik). Selama bertahun-tahun tinggal di rantau (Cilacap lalu dilempar ke Mengkasar), ayah Zainuddin tak mau pulang karena kecewa, pun tak memiliki kaum kerabat lagi karena dalam keluarganya tak ada anak perempuan (ia anak pertama dan adik-adiknya tidak ada yang perempuan). Menurut adat sana, bila tak ada keturunan perempuan dalam silsilah, tercela sekali kelihatannya. Tak memiliki mamak dan kaum kerabat dekat.
Karena itulah, Zainuddin merasa merana sekali hidup di luar tanah airnya. Karena ia berdarah campuran, tak dianggap sama sekali ia di Mengkasar (tempat tinggalnya) oleh masyarakat sekitar karena adat mereka pun sama, tak mengakui orang yang berdarah campuran. Bahkan sampai ia yatim piatu, tak ada sedikit pun belas kasihan dari masyarakat. Bagi mereka, darah campuran adalah suatu kehinaan. (Seperti Harry Potter ya. Kalau di Harry Potter, yang berdarah campuran dianggap hina, disebut Darah-Lumpur)
Zainuddin memutuskan untuk merantau ke Minangkabau di tempat kelahiran ayahnya (desa Batipuh). Sayangnya, di sana ia pun dianggap sama dengan di Mengkasar. Darah campuran itu tidak layak untuk menjadi bagian dari masyarakat Minangkabau. Ia yang merasa sedih dan sempat ingin pergi ke Padang Panjang, hingga ia bertemu dengan Hayati, seorang salah satu kerabat dekat kepala suku di sana. Ia jatuh cinta dan memutuskan untuk mencoba menikahi Hayati.
Malangnya, karena dianggap tidak layak sebagai seorang darah campuran, Zainuddin di usir dari Batipuh ke Padang Panjang. Hayati yang merasa sedih berjanji tidak akan mengkhianati cintanya pada Zainuddin sampai kapanpun, hingga Zainuddin datang dan menikahinya.
Namun, malang sekali, ketika Hayati bermain ke rumah seorang sahabatnya yang bernama Khadijah, ia terpengaruh oleh gaya glamor orang-orang kota sehingga ia menganggap bahwa cintanya pada Zainuddin (yang miskin) tidak bisa membahagiakannya (orientasinya adalah harta, harta, harta). Ia pun berpakaian ala orang kota, berbaju kurang bahan kata orang sekarang.
Ternyata Khadijah berencana menikahkan saudaranya dengan Hayati yang bernama Aziz. Ketika ia dipinang oleh Aziz, Hayati menerimanya dengan senang hati –karena melihat Aziz yang kaya raya– dan melupakan Zainuddin (sementara Zainuddin yang melamar melalui surat, langsung ditolak mentah-mentah karena ia miskin oleh kepala suku).
Karena merana ditinggal nikah Hayati, Zainuddin sakit selama dua bulan. Sementara lucunya, dokter yang memeriksanya mengatakan –setelah diceritakan kenapa ia bisa sampai sakit– kalau Zainuddin menderita ‘sakit cinta’. Sehingga mau tak mau Hayati didatangkan ke sana agar Zainuddin tidak wafat karena ‘sakit cinta’ yang dideritanya (karena bantuan dokter tersebutlah Hayati pun datang ke sana).
Singkat cerita, Zainuddin bisa bangkit oleh Muluk anak ibu pemilik rumah tempatnya menginap, namun ia adalah seorang penjudi, penyabung ayam, (lucu juga karena ibunya Muluk dengan bangga mengatakan bahwa rumahnya besar ini karena hasil jerih payah anaknya), namun begitu, Muluk ternyata bijaksana dan cerdas. Ia akhirnya memotivasi Zainuddin sedemikian rupa sehingga ia bisa bangkit lalu menjadi seorang penulis cerita dan drama. Mereka pun pindah ke Surabaya dan Zainuddin mulai terkenal di sana dengan karya-karyanya.
Hayati dan Aziz pun pindah ke Surabaya karena Aziz mendapat pekerjaan di sana. Sayangnya, rumah tangga mereka jadi tidak harmonis karena Aziz melakukan kebiasaan lamanya lagi sebagai penjudi. Pertengkaran sering terjadi tiap hari. Mereka bangkrut karena teman kerja Aziz yang tak suka dengannya lalu menetap di rumah Zainuddin (mereka berdua sempat bertemu dengan Zainuddin yang telah menjadi kaya raya di sebuah pertunjukan drama).
Karena malu, Aziz merantau ke Banyuwangi untuk mencari kerja dan menitipkan Hayati di rumah Zainuddin. Selama Hayati di rumahnya, Zainuddin enggan untuk di rumah, lebih sering ke rumah. karena masih mencintai Hayati. Sehingga tak berapa lama datang surat yang memberitahukan kalau Aziz menceraikan akan Hayati dan menyerahkannya pada Zainuddin. Mirisnya, tersiar kabar pula kalau Aziz bunuh diri di hotel tempat ia menumpang karena malu menanggung beban hidup yang tak jelas akhirnya. Itu membuat mereka berdua bersedih hati di Surabaya.
Hayati setelah mengetahui kalau Zainuddin masih mencintainya, berharap kalau Zainuddin akan menikahinya. Justru sebaliknya, Zainuddin yang masih sakit hati pada Hayati dan dendam pada adat yang masih dijalankan keluarganya, memutuskan untuk memintanya pulang saja ke Batipuh menaiki kapal Van Der Wijck (nama kapalnya baru tersebut di bab-bab terakhir, bukan di awal), walaupun dalam hatinya Zainuddin masih mencintai Hayati.
Sebelum pergi, Hayati menitipkan surat pada Muluk mengenai isi hatinya pada Zainuddin, bahwa ia menyesal karena kelakuannya dulu dan berharap kalau Zainuddin akan menjemputnya ke Batipuh untuk menikahinya. Tak berapa lama, Hayati meninggalkan Surabaya dengan kenang-kenangan sebuah foto Zainuddin yang diberikan oleh Muluk (Zainuddin memutuskan untuk tidur di hotel saja, tak mau di rumah).
Keesokan paginya, Zainuddin pulang dengan tergesa-gesa karena bermimpi bahwa Hayati mengucapkan selamat tinggal. Ia menyesal telah mengikuti hawa nafsunya sehingga begitu tega mengusir Hayati pulang. Ia ingin menyusul Hayati ke Jakarta menaiki kereta malam, karena kapal akan transit dulu di Jakarta. Tapi kabar tak enak terdengar saat di koran pagi diberitakan bahwa kapal Van Der Wijck tenggelam. Zainuddin segera mencari keberadaan Hayati.
 
Ditemukannya Hayati yang sekarat dengan sebuah foto Zainuddin terselip di selendangnya. Hayati merasa senang karena Zainuddin meminta maaf atas kelakuannya dan memintanya untuk pulang ke Surabaya lagi dan menikah dengannya, namun Hayati yang sudah kepayahan akhirnya meninggal setelah Zainuddin membimbingnya dengan kalimat syahadat tiga kali di telinga Hayati.
Setelah Hayati meninggal, Zainuddin menjadi pendiam dan enggan keluar rumah. Itu menyebabkan ia sakit-sakitan dan akhirnya Zainuddin meninggal setelah ia menyelesaikan baris terakhir romannya.
Selesailah cerita sampai di situ.
Menariknya, kapal Van Der Wijck adalah sebuah kapal yang benar-benar tenggelam tahun 1936, sama dengan setting tahun kisah Zainuddin dan Hayati. Kelihatannya Hamka memang mendedikasikan romannya untuk mengenang kapal tersebut.
Walau dituduh plagiat, tapi HB Jassin menganggap tidak mungkin plagiat karena romannya tersebut terlalu ke-Indonesia-an.

Bila ingin tahu apakah plagiat atau tidak, silakan baca roman yang berjudul ‘Magdalena.’


Bandung, 25 Nopember 2013