Mentoring Kepenulisan: Proses Menulis Esai Reflektif dari buku "Celoteh Jiwa"
| Berfoto bersama. Dok: FLP Bandung |
Pada Ahad (9/11) lalu, di Selasar Masjid Salman ITB, Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Bandung, Sukmawati, berbagi kisah kepada peserta mentoring FLP Bandung mengenai proses menulis buku esai reflektif, Celoteh Jiwa, yang terbit pada Oktober 2025.
Kata jiwa dari judul buku Celoteh Jiwa merepresentasikan identitas diri penulis. Ya, nama Sukma itu sendiri berarti jiwa. Celoteh-celoteh itu berasal dari jiwa penulis. Sukma bercerita bahwa tidak semua tulisan dalam bukunya berbentuk esai reflektif dengan struktur formal: pendahuluan, isi, dan kesimpulan. Beberapa tulisannya sengaja dibiarkan dalam format bebas sebagai bentuk representasi celotehannya.
Celoteh Jiwa merupakan bukti nyata konsistensi menulis di blog yang dilakukan Sukma sejak 2013. Di dalamnya, terdapat 33 esai reflektif hasil kurasi dari lebih kurang 100 tulisan di blog pribadi. Dari awal, Sukma memang sudah memiliki keinginan untuk menerbitkan buku dan konsistensi merupakan jalan yang ia pilih. Puncaknya pada rentang 2017-2019, ia mulai merutinkan diri menulis di https://ahlansukma.wordpress.com.
Konsistensi Sukma dalam menulis di blog juga dibarengi dengan strategi lainnya. Ia mulai mencari mentor menulis. Salah satu mentor yang berperan dalam penerbitan buku Celoteh Jiwa adalah Yanuardi Syukur atau akrab disapa Mas Yankur, Ketua FLP Wilayah Sulawesi Selatan periode 2004-2006 dan Ketua FLP Wilayah Maluku Utara periode 2007-2013. Sukma terinspirasi oleh salah satu karya Mas Yankur berjudul Menulis di Jalan Tuhan yang ia baca pertama kali saat Munas IV FLP di Bandung.
Sebagai mentor, Mas Yankur berperan memberikan berbagai saran dan dorongan kepada Sukma untuk menerbitkan buku dan bergabung pada lingkaran penulis yang lain. Hal tersebut dilakukan untuk memberikan Sukma motivasi lebih. Sebelum ada naskah awal Celoteh Jiwa, Mas Yankur terlebih dahulu memberikan saran topik menulis mengenai muslimah, dan hal tersebut merupakan alasan kenapa tema perempuan menjadi bahasan di bab pertama Celoteh Jiwa.
Selain itu, Sukma seringkali melakukan refleksi terhadap setiap berbagai masukan kepenulisan yang ditujukan untuk dirinya. Mutiara Fajar, salah satu anggota FLP Bandung, adalah salah satu support system bagi Sukma, yang terus memberikan pandangannya mengenai tulisan Sukma yang dibagikan di blog.
Blog adalah batu loncatan dalam perjalanan menulis Sukma, sekaligus menjadi titik awal lahirnya tulisan berjudul Celoteh Jiwa. Hingga pada awal 2025, Sukma bertekad melakukan kurasi dari tulisan-tulisannya di blog dan menyesuaikan tema tulisannya untuk dikumpulkan menjadi sebuah buku. Akhirnya, terpilihlah tema: perempuan dan peradaban, spiritualitas dan keimanan, renungan sosial, hingga pencarian makna hidup di era digital.
Sebelum Celoteh Jiwa diterbitkan, Sukma terlebih dahulu memberikan tantangan kepada dirinya untuk meningkatkan rasa percaya diri. Hal itu ia lakukan dengan menerbitkan secara mandiri dan membagikan tulisannya yang berjudul Setitik Jejak Literasi, yang merupakan tulisan dari pengalaman kerjanya di Bidang Pengkajian dan Penerbitan (BPP) Masjid Salman ITB. Manajernya kala itu, Aditya Firman Ihsan, juga turut andil untuk mendorong Sukma menerbitkan buku.
Setelah merasa lebih percaya diri karena telah membagikan tulisan lewat Setitik Jejak Literasi, ia mulai mengambil langkah kembali untuk menerbitkan buku tunggal perdananya. Sebelum Celoteh Jiwa diterbitkan oleh CV Literasi Karya Budi, sempat ada penerbit lain yang ingin menerbitkan bukunya. Karena berbagai faktor, hal tersebut urung dilakukan.
Hingga akhirnya Celoteh Jiwa berlabuh pada CV Literasi Karya Budi. Pemilik CV Literasi Karya Budi adalah Kang Budiyana, anggota FLP Bandung yang juga merupakan salah satu inspirator Sukma dalam berkarya. Salah satu tulisan Kang Budiyana yang pernah diterbitkan adalah Celoteh Surga. Tak disangka, ternyata judulnya memiliki kesamaan dengan buku Celoteh Jiwa milik Sukma: sama-sama berawalan ‘Celoteh’.
Pada kesempatan mentoring siang itu, Sukma juga berbagi tips menulis esai reflektif. Setidaknya, ada 4 (empat) poin yang perlu diperhatikan bagi seseorang yang sedang belajar menulis esai: (1) menulis bebas alias free writing; (2) konsistensi; (3) identifikasi/analisis; dan (4) gunakan kerangka 3 babak: awal, tengah, akhir.
Sesi mentoring diakhiri dengan sesi tanya jawab. Selain itu, Sukma memberikan tantangan kepada peserta untuk menulis bebas selama sepuluh menit mengenai pengalaman perjalanan masing-masing dari titik berangkat menuju tempat mentoring serta pemberian masukan dari satu sama lain. Hasil tantangan tersebut menunjukkan bahwa setiap orang memiliki pengalaman, perspektif, dan gaya menulis yang beragam, yang bisa jadi sumber utama untuk menulis buku.
Melalui mentoring hari itu, peserta mendapatkan perspektif baru dan juga pengingat diri, yang membangunkan kembali mimpi dan refleksi diri yang mendalam.[]
Kontributor penulis: Ratih
Penyunting: Sukma
0 Comments
Post a Comment