Rendra: Dari Cinta Hingga Panggung Dunia
oleh : M. Ginanjar Eka Arli 




Siapa yang tidak kenal dengan nama W.S. Rendra? Sejak kita duduk di bangku SD pun para siswa telah disodorkan sebuah pengetahuan bahwa ia adalah salah satu sastrawan sekaligus penyair terbaik di Indonesia. Ya, berbicara tentang Rendra pasti tidak lepas dari pertunjukan panggungnya. Sastrawan satu ini memang begitu komunikatif dengan penonton, memiliki gaya dan penyampaian yang "khas" ketimbang penyair lainnya. Dalam satu kata, ia memang "terbaik" di bidangnya, khususnya dalam pertunjukan seni teater.
Namun, image Rendra ketika pertama memasuki dunia sastra ini sebenarnya jauh sekali dari panggung. Adalah "Kekawin-Kawin" sebagai bukti sejarah ia pernah membuat puisi kala jatuh cinta dengan Dik Narti. Jika kita tarik kesimpulan, sebenarnya apa yang disampaikan oleh Rendra semuanya menunjukkan "kegelisahan" yang ada dalam hatinya. Ia menjadikan puisi sebagai sarana menyampaikan pemikiran (protes) ke masyarakat.
Salah satu gaya yang terlihat dalam puisi Rendra adalah: Lugas. Ya, ia tidak bercantik-cantik kata maupun. Apa yang ingin disampaikan kepada pembaca langsung dituangkan dalam puisinya -- jelas dan apa adanya.
Sebut saja salah satunya yakni dalam puisi "Sajak Sebatang Lisong" (1977) yang terhimpun dalam buku "Potret Pembangunan dalam Puisi". Ia menuliskan ini sebagai protes terhadap keadaan saat orang-orang asing berdatangan. Dapat terlihat pada diksi larik berikut ini.
"Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.

Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan."

Rendra percaya bahwa masing-masing orang boleh berpandangan berbeda. Namun satu hal: Kesenian harus dekat dengan masyarakat. Rendra ingin mengajak para seniman agar dapat menyuarakan kegelisahan masyarakat, mewakili hal tersebut dengan sajak.
Sayang, mungkin Rendra akan sedih melihat keadaan anak muda saat ini. Terlihat mayoritas anak-anak muda berjarak dengan puisi (sastra). Salah satu alasannya mungkin karena perasaan mereka tidak terwakili. Efeknya: puisi kini kurang diapresiasi oleh kaum remaja.
Dari Rendra, kita diingatkan untuk "Jangan Berhenti Belajar", seperti karya-karyanya yang berkembang seiring waktu. Kita juga belajar untuk disiplin dalam berkarya. Mungkin itu jugalah yang membuat Rendra produktif dan dapat menghasilkan karya-karya fenomenalnya.
“Belajar tentang Rendra bukan berarti harus menjadi seperti dirinya. Kita mengapresiasi hasil karyanya juga agar 'tergelitik' dan tergerak untuk rajin membaca. Semakin banyak membaca, semakin banyak pula cara kita untuk mengekspresikan perasaan," tutup kang Dedi L. Setiawan (Ketua FLP Jawa Barat periode 2013) pada akhir pertemuan pekanan FLP Bandung (23/10) di lapangan Gasibu, Bandung.