Manusia tumbuh dan berkembang disebabkan oleh kebiasaan dia meniru apa saja yang dilihat dan didengar. Pengulangan berkali-kali tanpa disadari membuat karakter seseorang bisa menjadi baik atau malah buruk. Pada pertemuan pertama Pesantren Sastra, M. Irfan Hidayatullah atau biasa dipanggil Kang Irfan, memberi sebuah perspektif baru pada peserta bahwa Buya Hamka menjadi orang besar dan harum namanya disebabkan oleh sebuah kebiasaan sedari kecil.


Karena tema pertemuan pertama adalah Kiprah Perjuangan Buya Hamka, maka Kang Irfan memberikan materi berjudul Habitus Hamka.

Pengertian habitus adalah sesuatu yang sangat melekat dalam diri dan dibentuk oleh waktu. Habitus bisa terbentuk dari hasil pembelajaran lewat pengasuhan, aktivitas bermain dan juga pendidikan masyarakat dalam arti luas. Pembelajaran itu terjadi secara halus dan tanpa disadari.

Buya Hamka adalah produk dari habitus yang bermacam-macam. Dengan kuatnya didikan ala Minang, beliau menjadi sosok yang unik dan berbeda dari anak-anak yang seumuran dengannya.

Setidaknya ada beberapa aspek yang membentuk habitus Buya Hamka : Lokalitas, Religiositas dan Kesastraan.

1. Lokalitas

Tumbuh di tanah Minang, Buya Hamka sejak kecil dibesarkan dalam lingkungan bertradisi kuat. Tradisi itu ditanamkan oleh kedua orang tuanya, keluarganya dan masyarakat sekitar.

Tradisi surau atau mengaji sejak kecil di masjid, membuat beliau menjadi orang yang terdidik agama sejak kecil. Memiliki ayah seorang ulama, Hamka kecil tumbuh menjadi anak-anak pencinta surau. Apalagi surau tempat dia belajar agama memiliki sejarah yang memiliki kaitan erat dengannya.

Tradisi bercerita membuatnya menyukai hikayat dan membaca buku. Tradisi ini selain diajarkan ibunya, didapatnya melalui interaksi dengan cerdik pandai di kampung. Cara berbicara dan berpepatah petitih membantunya untuk bisa bercerita dengan menarik.

Dan banyak lagi tradisi lain, yang membuatnya bisa memilah mana tradisi yang sesuai dengan ajaran agama atau sebaliknya.

2. Religiositas

Sebagai anak ulama besar, sudah berkali-kali Buya Hamka dititipkan pada banyak guru. Selain karena kesibukan mengasuh pondok, ayahnya merasa tak kuasa mengajari si sulung terlalu banyak ilmu.

Maka, tidak heran jika Buya Hamka memiliki pandangan luas dalam beragama. Dengan guru bermacam-macam, beliau bisa bersikap dengan lebih bijak.

Buya Hamka bukan orang yang hanya diam di tempat saja, tapi beliau orang yang senang berjalan dari satu tempat ke tempat lain. Penjelajahan spiritualnya ke Tanah Suci, Yogyakarta, Makassar dan Jakarta merupakan bukti bahwa beliau lebih senang ke sana kemari tenimbang diam di tempat.

Posisi dan jabatan yang pernah beliau ampu, juga membantu habitusnya untuk menjadi pemimpin yang diakui banyak orang.

3. Kesastraan

Besar di keluarga ulama, tidak membuat Buya Hamka mengabaikan bacaan sastra, apalagi sastra dunia. Malahan, beliau membaca banyak sekali buku saat bekerja di perpustakaan.

Selain sastra tulisan, sastra lisan pun dipelajarinya ketika kecil. Sehingga caranya menulis dan berbicara (ceramah), membuat siapapun tidak akan beranjak dari tempat dia duduk. Karena akan terpesona dengan perkataannya yang indah.

Karya-karya sastranya memang tidak banyak, tapi bisa menarik simpati banyak pembaca. Karena roman-romannya sangat sesuai pada zamannya dan romantisme yang diciptakannya begitu memukau. Maka tidak aneh, Buya Hamka begitu disegani oleh kawan maupun lawannya.


Pada akhirnya, Kang Irfan menegaskan bahwa karya Buya Hamka adalah sastra dakwah. Dan langkah itu sedang diikuti oleh Forum Lingkar Pena. Bahkan beliau memberi pesan yang sangat bermanfaat untuk para peserta.

"Perkara mubah bisa dimasuki hal yang sifatnya wajib. Jika menulis cerita hukumnya mubah, maka setiap kita bisa memasukkan hal yang wajib (dakwah) itu ke dalamnya."

Acara ini disponsori oleh Nibra's, penerbit Indiva dan penerbit Tiga Serangkai.

~Agus Abdullah


*Info lebih lanjut tentang produk Nibra's lainnya:
http://nibras.co.id/
http://rumahnibras.com/
http://nibrascollection.com/