Resensi
[REVIEW] CINTA SUCI ADINDA – Afifah Afra
Oleh: Kamilia Sukmawidewi
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Terbit : Maret 2018
Tebal : 368 halaman
ISBN : 978-602-6334-56-5
Harga : Rp 75.000
Adinda ditangkap polisi? Siapa yang bisa percaya kabar itu? Adinda perawat lugu dan berhati selembut sutra. Tak mungkin dia terlibat dalam kriminalitas. Apalagi, tuduhan yang dilayangkan padanya sungguh tak masuk akal: menculik Brata Kusuma, sang penderita skizofrenia yang tak lain adalah mantan majikannya. Pria itu bagai mutiara bagi Adinda, selalu dirawat dan dijaga.
Irham, dokter jiwa ternama itu menyaksikan dengan mata kepala sendiri, betapa besar pengorbanan Adinda untuk Brata Kusuma. Rasanya mustahil dia menjadi aktor di balik penculikan Brata Kusuma. Irham memang tak percaya gadis selugu Adinda terlibat kasus pelanggaran hukum, namun di saat bersamaan, Irham mendapati hubungan yang janggal antara Adinda dan Brata Kusuma. Ya, sebuah interaksi aneh. Tak lagi sekadar hubungan pasien dan perawatnya.
Dokter Irhamudin Prasetya semakin terbebat ketidakmengertian. Bukan sekedar karena kelit kelindan kehidupan yang kian sulit dicerna, namun juga dirinya yang akhirnya menyadari, bahwa daya tarik Adinda telah membuatnya pria terhormat seperti dirinya, justru jatuh cinta pada gadis sederhana yang jauh dari standar idealnya.
Cinta Suci Adinda merupakan novel yang bertutur tentang loyalitas, totalitas, dan kesederhanaan yang menawan dari seorang perawat bernama Adinda. Selain Cinta Suci Adinda, sebuah novelet cantik berjudul “Oikos” pun dipersembahkan Afifah Afra dalam buku ini. Selamat Membaca!
***
“Tak ada yang percaya bahwa dia bersalah. Dia orang baik.”
Tiba-tiba saja malam itu Adinda diboyong ke kantor polisi atas tuduhan penculikan seorang Brata Kusuma. Tanpa jeda waktu kejadian itu bergulir cepat dan berita itu paginya menyebar seantero rumah sakit jiwa. Hampir tidak ada yang mempercayai kabar itu. Adinda yang terkenal dengan kepolosan dan keluguannya tiba-tiba saja tertuduh sebagai tersangka penculikan! Rasanya seperti mendengar petir di siang bolong.
“Untuk apa Adinda menculik Pak Brata, sedangkan selama ini, justru dia yang sangat bersikeras untuk mengobati majikannya tersebut.”
Sempat beberapa kali Adinda berusaha untuk meminta bantuan Irham untuk mengobati penyakit mantan majikannya. Hanya saja karena berbagai hal dan konflik cintanya membuat Irham tidak bisa memenuhi bantuan tersebut. Walaupun pada akhirnya Irham menyanggupinya untuk menebus rasa bersalahnya. Selama itu, Irham menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana gadis itu berjuang untuk menyembuhkan Skizofrenia Pak Brata Kusuma. Pengorbanan yang telah gadis itu lakukan membuat semuanya jadi tidak masuk akal.
“Saya ingin tahu, sebenarnya, ada hubungan apa antara engkau dengan Tuan Brata Kusuma?”
Irham mulai merasa bahwa Pak Brata bagi Adinda sendiri lebih dari sekedar mantan majikan juga hubungan perawat dengan pasien. Ada hal yang lebih hebat dari itu. Perhatian yang diberikan Adinda benar-benar menggambarkan jelas bahwa Pak Brata memiliki posisi yang spesial. Hanya saja, Irham tidak bisa menebaknya dan Adinda sepertinya tidak ada niatan untuk memberitahunya.
Lebih dari itu, entah mengapa meski ada perasaan bahagia, ada satu dari sisi ruang batinnya menyuruhnya untuk menjaga jarak. Melarangnya larut dalam perasaan orkestra romansa dalam jiwanya. Mungkin itu egonya.
Namun, lama-lama perasaan bersalah Irham mulai berubah wujud. Perhatian, rasa khawatir, dan bantuan-bantuan itu bukan hanya sebagai kewajiban seorang atasan kepada bawahannya saja. Ada perasaan lain yang mendorongnya. Secara tidak sadar hatinya memberikan ruang tersendiri untuk Adinda. Hanya saja, perasaan tersebut ia kekang oleh egonya. Kesederhanaan yang lekat dengan diri gadis itu tidak sejajar dengan berbagai syarat yang harus dipenuhi oleh calon pendamping hidupnya.
***
Walaupun baru pertama kali membaca novel Mbak Afifah. Aku merasa ide cerita dalam novel ini anti-mainstream! Jarang sekali aku menemukan novel Indonesia yang memiliki latar cerita benar-benar Rumah Sakit Jiwa. Mbak Afifah menggambarkan bagaimana keadaan di RSJ ini sesuai porsinya. Kadang-kadang aku tersenyum membaca kelakuan para pasien RSJ ini. Ada satu adegan yang saya suka yaitu saat Adinda sedih dan dihibur oleh salah satu pasien di sana (kalau penasaran boleh beli bukunya ya!).
Mbak Afifah tidak serta merta membawa kita menuju konfliknya secara langsung. Secara perlahan, dia mencoba kita untuk berkenalan dengan para tokohnya sampai kita benar-benar mengenal mereka luar dalam. Dari cara mereka bertindak, berfikir, bagaimana mereka menyelesaikan masalah, arti keberadaan tiap tokoh satu sama lain, dan perkembangan karakter setiap tokoh setelah ditimpa berbagai masalah. Alurnya benar-benar mengalir apa adanya, disela-sela cerita kadang ada banyak petunjuk yang diselipkan mbak Afifah untuk menjawab berbagai misteri. Perbendaharaan kata yang digunakan bervariasi, kebanyakan malah rasanya tidak pernah aku temukan di novel-novel lain. Ini menandakan jam terbang dan kualitas penulis tidak diragukan.
Satu yang unik di sini. Aku tidak habis fikir manusia cuek bin beku seperti Dokter Irham bisa menjadi Dokter RSJ. Awalnya aku mengira bahwa laki-laki seperti dia mungkin akan mudah naik pitam saat berhadapan dengan orang-orang tidak waras. Ternyata dugaanku salah, sebab dari awal Mbak Afifah sendiri menyebutkan bahwa Irham ini merupakan Dokter Jiwa terbaik yang ada di Indonesia. Salah satu orang yang memperoleh award Man Of The Year.
Selain itu, karakter Adinda yang diciptakan Mbak Afifah membuat kita gemas. Konflik yang terjadi justru penyebabnya kebanyakan ulah dari protagonis yang satu ini. Kecerobohan yang dimilikinya dan kebiasaannya yang tidak berfikir panjang justru malah menyusahkan dirinya sendiri. Namun, aku pikir itulah daya tariknya dan membuat semuanya jadi menarik. Apalagi dengan karakternya yang lekat dengan agama.
Aku suka bagian novel yang secara gamblang disebutkan bahwa pentingnya jiwa kita agar selalu terpaut kepada sang Maha Pencipta. Jauhnya kita dariNya membuat mental kita lemah dan jiwa kita rentan terkena penyakit. Sepanjang cerita kita benar-benar diingatkan bahwa seharusnya kita mengikutsertakan agama dalam berbagai aspek kehidupan. Betapa timpangnya hidup kita tanpa agama.
Dari 5 bintang, aku memberikan **** bintang untuk novel ini. Sebab aku puas dengan keseluruhan isi novel yang disuguhkan, meskipun sebenarnya merasa kecewa dengan ending yang menggantung.
2 Comments
😉👌
ReplyDeleteWah makasih yaaa
ReplyDeletePost a Comment