Oleh : Agus Abdullah


Hari Kamis, tanggal 15 November 2018, FLP Bandung diundang untuk mengikuti acara Diskusi Sastra dengan tema Sastra dan Sejarah. Acara itu diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat di Hotel Horison Bandung. Beberapa komunitas lain pun diundang, semisal Majelis Sastra Bandung, Asia Africa Reading Club, ASAS UPI dan beberapa komunitas lagi yang saya lupa namanya.

Pada acara itu, diundanglah empat narasumber yang kompeten di bidangnya masing-masing. Pertama adalah Hermawan Aksan, Prosais dan Redaktur di HU Tribun Jabar. Kedua adalah Dian Hardiana, Penyair dan Redaktur Sastra situs Buruan.co. Ketiga adalah Arip Abdurahman, Pegiat Sejarah dan Komunitas Aleut. Terakhir adalah Zulfa Nasrulloh, Esais dan Kurator Sastra. Moderator acara adalah Agung Nugraha BP dari ASAS UPI.

Pada sesi pertama, Hermawan Aksan dan Dian Hardiana mengisinya terlebih dahulu. Hermawan Aksan membahas tentang nasib sastra (khususnya sejarah) di Jawa Barat yang kelihatannya memiliki sedikit kemunduran saat ini. Apalagi dengan fakta banyaknya sastrawan yang berasal dari Jawa Barat lebih berkembang di luar Jabar dan begitu juga sebaliknya, orang luar Jabar malah lebih berkembang di Jabar. Jangan ditanya soal sastra yang mengangkat sejarah. Jauh sekali jumlahnya ketimbang sastra yang tidak membahas sejarah.

Sementara Dian Herdiana menyoroti fenomena puisi generasi saat ini yang katanya lebih banyak menyoroti genre romance saja tanpa membawa keseriusan di dalam puisinya. Dia mengambil sampel puisi-puisi di HU Pikiran Rakyat, yang baginya mengecewakan saat ini. Karena hanya berisi puisi yang cenderung mendekati tulisan populer ketimbang serius.


Acara pun dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang seru sekali dan sulit dituliskan di sini karena saya lupa apa saja pertanyaannya. Tapi yang paling saya ingat, adalah merebaknya fenomena quotes yang patut dipertanyakan. Lebih menekankan pada makna quotes saat ini ketimbang apa itu quotes karena itu sudah kita mafhumi.

Setelah ISOMA, sesi dua dilakukan. Kali ini, Arip Abdurahman dan Zulfa Nasrulloh naik ke panggung.

Arip Abdurahman mengomentari tentang penulis di Jabar yang rasanya tidak begitu mengakrabi sejarah Jabar untuk dituliskan di dalam karya mereka. Mungkin disebabkan kurang kepedulian institusi pendidikan tentang sejarah atau faktor lain.

Sementara Zulfa Nasrulloh membawakan hal yang berbeda. Dia membukanya dengan cerita temannya lalu menyambungkannya dengan sejarah di dalam karya sastra. Kekuatan sejarah sangat kuat untuk memengaruhi kondisi masyarakat sehingga ada istilah yang kurang lebih seperti ini, "Sejarah ditulis oleh pemenang." Dan kita bisa memasukkan apa yang sejatinya adalah "sejarah dari yang kalah" ke dalam karya sastra sehingga menarik khalayak umum.


Dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang seru juga dan sayangnya karena memori saya yang tak baik dan kurang disiplinnya saya dalam menulis hal-hal penting, tak bisa saya tuliskan di sini.

Sebagai oleh-oleh, saya berikan paper keempat narasumber, silakan diunduh jika membutuhkannya. Isinya tentang sebagian pemaparan narasumber dalam diskusi. Semoga bermanfaat.


Bandung, 16 November 2018