Oleh : Asep Setiadi



Penulis : S Gegge Mappangewa
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Tebal : 287 halaman
Tanggal Terbit : Pebruari 2018
ISBN : 978-602-6334-47-3
Harga buku : Rp. 65.000 (Harga P. Jawa)

Novel Sabda Luka saya dapatkan dari panitia Panitia Pesantren Sastra setelah memberanikan menerima tugas untuk mereview novel ini.

Berikut ulasan yang saya baca

“Kalau ibu kamu siapa namanya?”

“Mama Emma....”

Vino garuk-garuk kepala. Memang untuk mengajar kelas satu harus punya keahlian khusus.

“Nama aslinya siapa?”

Emma menggeleng.

“Ibu kamu dimana sekarang?”

“Di penjara. Kata orang-orang, ibuku pembunuh!”

Vino tercekat. Dia menelan ludah. Kerongkongannya tiba-tiba kering. Emma yang masih menatapnya seolah-olah akan mematikannya. Kata orang-orang ibuku pembunuh. Kalimat itu mengiang lagi ditelinganya padahal Emma tak membuka mulut. Matahari sore yang sinarnya sudah terhalang rimbunan pohon dan tak bisa menembus ke sungai tempatnya dengan Emma bercerita, tiba-tiba terasa panas dibuatnya.

Mamanya benar, Emma itu punya luka ditatapannya. Tak tahu ayahnya di mana. Ibunya di penjara dan disebut sebagai pembunuh. besok saat dia mendapatkan Emma sendiri di kelasnya, mungkin dia tak sanggup lagi melihat tatapan itu. (hal. 45)

Setiap manusia sama dalam mendapati cerita tentang luka dalam hidupnya. Tetapi dalam latar, alur, bentuk dan keinsyafan yang bisa jadi berbeda-beda.

Novel ini secara apik menampilkan berbagai intrik sampai mana bocah perempuan bernama Emma mempunyai luka yang jelas dalam tatapannya. Saya sendiri tidak menyangka saat semakin jauh membaca, balutan gaya bahasa dalam novel ini mampu menampilkan gambaran kejadian demi kejadian ‘tidak biasa” yang melatarbelakangi keadaan Emma sekarang.

Luka bukan hanya milik Emma, tapi Vino pun menyimpannya. Bahkan luka ini yang mencetuskan ide dimana Vino menjadi orang lain, bukan dirinya. Demi menambal luka walau harus terjauh dari ayahnya.

Vino dan Emma bukan hanya terkait karena punya luka yang sama dimana mereka tercerai keluarganya tetapi catatan Lauh Mahfud lebih mengeratkan keduanya, dimana salah satunya sebagai jalan mencapai takdir bagi yang lainnya.

Novel ini sangat gamblang dalam menampilkan sisi – sisi tercela diluar norma agama seperti penghianatan dalam rumah tangga, perceraian, kebohongan, membantah orang tua, penyimpangan seksual, pembunuhan bahkan pemerkosaan yang kesemuanya timbul dari jauhnya penanaman agama, dimana dalam novel ini tidak disinggung mengenai shalat, mengaji dan lainnya. Tetapi hal tersebut menjadi jalan nasihat dari pengarang novel mengenai penting dan dahsyatnya hidayah.

Seorang yang tenggelam dalam kubangan dosa bisa kembali kedalam pangkuan kebaikan seketika.

Tentu saja novel ini tidak melulu menampilkan luka, kesakitan dan dosa-dosa. Adapula tawa, canda dan kesetiakawanan dengan bumbu cerita asmara ala para pemuda tanggung yang mengharukan dibawah bimbingan Pak Amin yang bijaksana.

Pesan dari berbagai kejadian begitu jelas diketengahkan pengarang, seperti pentingnya tabayyun, menjauhi takhayul, kesabaran menerima takdir, dan terutama pentingnya membuka hati untuk hidayah yang mungkin datangnya dari orang dan di tempat yang tidak layak.

Membaca novel ini kebanyakan kita dibawa dalam suasana yang sama sekali berbeda. entah karena kondisi daerahnya terlebih cerita yang disajikan jauh dari perkiraan. Bintang 4,5 dari 5 tampaknya cocok untuk novel ini. Penokohan, cerita dan bahasa yang kental sangat memuaskan saya secara pribadi untuk cepat menghabiskan novel ini.

Novel ini jelas bukan bacaan anak-anak, tapi novel ini berisi banyak pesan penting dan sedikit banyak pula menyentuh isu kekinian mengenai LGBT yang yakin bisa disembuhkan, bukan dengan jalan kebohongan tapi dengan kesadaran.