flpbandungok.blogspot.com - Setelah menggelar bedah buku puisi “Mendaras/Komposisi/Senja” pada (23/07) lalu di Poem Cafe and Resto, FLP Bandung kembali mengupasnya dalam agenda Kamisan virtual pada (04/08). Kamisan kali ini hendak memfasilitasi para peserta yang ingin membedah buku tersebut, tapi berdomisili di luar Kota Bandung.
Acara dimulai dengan pembacaan sirah nabawiyah oleh Khairul Umam, pengurus FLP Bandung. Ini merupakan program penanaman nilai-nilai keislaman yang akan menjadi pembuka setiap acara FLP Bandung.
Acara lalu dilanjutkan dengan sesi pematerian bersama sang penulis buku, Irfan Hidayatullah. Irfan, yang kini menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan FLP Pusat, membuka sesi tersebut dengan metode tanya jawab. Peserta diminta langsung mengajukan pertanyaan mengenai buku puisinya, dan hal-hal seputar puisi.
Tanya jawab berjalan hangat dan seru. Utami Dewi, salah satu peserta, bertanya tentang hilangnya tanda strip pada beberapa kata berulang dalam sebuah puisi. Irfan menyebut hal tersebut ia lakukan dengan sengaja, dan merupakan bagian dari licentia poetica yang kerap digunakan penyair. “Tidak hanya saya. Banyak penyair-penyair lain yang melakukan itu,” ujarnya.
Acara dimulai dengan pembacaan sirah nabawiyah oleh Khairul Umam, pengurus FLP Bandung. Ini merupakan program penanaman nilai-nilai keislaman yang akan menjadi pembuka setiap acara FLP Bandung.
Acara lalu dilanjutkan dengan sesi pematerian bersama sang penulis buku, Irfan Hidayatullah. Irfan, yang kini menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan FLP Pusat, membuka sesi tersebut dengan metode tanya jawab. Peserta diminta langsung mengajukan pertanyaan mengenai buku puisinya, dan hal-hal seputar puisi.
Tanya jawab berjalan hangat dan seru. Utami Dewi, salah satu peserta, bertanya tentang hilangnya tanda strip pada beberapa kata berulang dalam sebuah puisi. Irfan menyebut hal tersebut ia lakukan dengan sengaja, dan merupakan bagian dari licentia poetica yang kerap digunakan penyair. “Tidak hanya saya. Banyak penyair-penyair lain yang melakukan itu,” ujarnya.
Selain membincang hal-hal seputar kebahasaan, Irfan menekankan bahwa menulis puisi tak hanya sekadar soal how (bagaimana), melainkan juga when (kapan). Waktu di sini merujuk pada momen puitik, saat penyair merasakan sesuatu yang membuahkan pertanyaan atau kegelisahan. Kedua hal itulah bibit yang--jika digarap oleh penyair--lahir menjadi sebuah puisi. Karena itu Irfan menyebut puisi sebagai seni bertanya, dan penyair sebagai “orang yang mencari banyak jawaban.”
Kamisan ini berakhir pukul sepuluh malam. Di sesi penutup Irfan berpesan, “Menulis itu bagian dari cara kita memaknai hidup.”***
Kontributor: Barli
Kamisan ini berakhir pukul sepuluh malam. Di sesi penutup Irfan berpesan, “Menulis itu bagian dari cara kita memaknai hidup.”***
Kontributor: Barli
0 Comments
Post a Comment